Mencari Jodoh
Dalam banyak kesempatan, kita menyatakan diri sebagai hamba Allah. Dulu, jika orang mau menyumbang tapi tak ingin diketahui namanya, ditulis dengan NN (No Name). Saat ini, kita menggantinya dengan “hamba Allah”. Tujuan awalnya memang untuk menghindari riya’.
Tapi, perkataan seperti itu bisa membuat diri kita pamer kepada orang lain bahwa kita ini orang shaleh. Kalau kita menyumbang ke suatu badan amal, yayasan atau yang lain, kita bisa tergoda untuk mengatakan dengan sefasih dan semantap mungkin, “Nama saya tidak perlu ditulis. Tulis saja dari hamba Allah.”
Berdasarkan ilmu tajwid, lafazh “Allah” dibaca tafkhîm (tebal) karena lam Jalâlah didahului fathah. Kalau memang itu yang kita lakukan—kita mengucapkan lafazh “Allah” semantap mungkin supaya terlihat seperti orang alim—apakah benar kita ini hamba-Nya? Marilah kita lihat apakah kita memang hamba Allah atau bukan.
Katakanlah kita mempunyai seorang tetangga sekaligus teman, yang dari segi harta dan pekerjaan tidak seberuntung kita. Karena dia teman kita, jika dia minta pertolongan, seketika itu juga kita membantunya. Bahkan kadang kala kita menawarkan diri untuk sedikit meringankan tugas dia, jika dia terlihat tidak bisa menyelesaikannya. Semua itu kita lakukan tanpa pamrih, kita benar-benar mengikhlaskan semuanya.
Dua tahun berlalu dan selama itu pula kita selalu melakukan yang dimintanya. Suatu hari, kendaraan kita sedang bermasalah. Karena buru-buru ingin ke kantor mengingat jam sudah menunjukkan pukul 07.30, kita minta diantarkan dia yang kebetulan sedang mendapat jadwal shift sore (15.00–23.00) di pabriknya. Kala itu dia sedang santai minum kopi hangat sambil membaca koran dan menikmati pisang goreng.
Ternyata, dia tidak mau mengantarkan kita. Dia malah berkata, “Kamu ini mengganggu orang saja. Tidak lihat apa, aku sedang menikmati sejuknya pagi. Minggu ini kan aku shift sore, jadi aku masih ingin istirahat. Kamu kan punya uang, naik taxi saja!”
Nah, apakah di dalam hati, kita tidak akan mengingat-ingat pertolongan kita padanya selama ini? Ataukah, kita berkata pada diri sendiri, “Dasar orang tidak tahu membalas budi! Awas, ya… Jangan harap aku akan menolongmu lagi!”
Jika kita masih mengingat kebaikan kita padanya, atau meminta balas budi darinya, apakah pantas kalau kita menyebut diri sebagai hamba Allah? Sedangkan pengertian hamba adalah orang yang melakukan sesuatu semata-mata untuk tuannya, tak ada urusan dengan orang lain.
Penulis pernah mendengar di sebuah acara radio, ada seseorang mengadukan keadaannya pada nara sumber. Dua tahun sebelumnya, ada pegawai baru di departemennya. Karena ingin berbuat baik, maka pegawai baru ini dibimbing, diberi arahan dan selalu dibantu. Memang dasarnya anak cerdas, pegawai baru tersebut naik pangkat dengan cepat. Masalahnya, sekarang ini jadi saingan, bahkan tega menjatuhkan sang mentor (penelpon) yang telah membimbingnya. Pegawai baru itu sekarang jadi musuh si penelpon. Si penelpon merasa sakit hati karena dulu dialah yang menolong. ‘Aidh al-Qarni menggambarkan peristiwa seperti ini dalam bait syairnya :
Tetapi sifat ini kadang kala justru terbalik, sahabat dijadikan musuh!
Aku ajari dia memanah setiap hari
Ketika lengannya menjadi kuat, ia malah memukulku
Betapa banyak aku ajarkan padanya bait-bait syair
Ketika ia mampu membuat syair, ia menyerangku
Nah, kalau kita berada di posisi si penelpon, apakah kita juga sakit hati? Kalau benar kita sakit hati karenanya, berarti kita tidak ikhlas menolongnya. Dalam hati, sebenarnya kita berharap agar suatu saat pegawai baru itu menolong kita. Apakah pantas kalau kita menolong orang lain, lalu kita berharap suatu saat dia juga membantu kita, kemudian dengan keyakinan penuh kita mengatakan bahwa kita hamba Allah?
Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).
(QS az-Zumar [39] : 2-3)
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.
(QS al-Bayyinah [98] : 5)
Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.
Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.
(QS al-Insân [76] : 9-10)
Rasulullah saw. bersabda :
ثَلاَثٌ لاَيَغُلُّ عَلَيْهِمْ قَلْبُ مُسْلِمٍ : إِخْلاَصُ الْعَمَلِ ِللهِ تَعَالَى، وَمُنَاصَحَةُ وُلاَةِ اْلأُمُوْرِ، وَلُزُوْمُ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ
Tiga perkara yang tidak bisa dikhianati hati seorang muslim, yaitu keikhlasan amal karena Allah SWT, saling menasihati dalam penguasaan masalah dan tetapnya jamaah umat Islam. (HR Ahmad)
Semua benda berpotensi dapat ternoda oleh benda lainnya. Jika benda itu bersih serta terhindar dari kotoran dan noda, maka disebut dengan khâlish (benda yang bersih) dan pekerjaan untuk membersihkannya disebut ikhlâshan. Bersihnya (khulush) susu dari hewan ternak adalah apabila tidak dicampuri oleh darah, kotoran atau sesuatu yang dapat mencampurinya.
Ikhlas adalah penjernihan perbuatan dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi. Ikhlas adalah ruh amal, dan amal menunjukkan tegaknya iman.
Syaikh Ibnu Athaillah menuturkan, “Siapa menyembah Allah karena mengharapkan sesuatu yang lain, atau karena menolak bahaya yang akan menimpa dirinya, maka ia belum menunaikan tugasnya terhadap Allah sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki-Nya. Ada beraneka ragam jenis amal menurut situasi dan kondisi yang masuk ke dalam hati manusia. Kerangkanya adalah perbuatan yang jelas, sedangkan ruhnya adalah ikhlas.”
Imam Al-Qusyairi menasihatkan, “Ikhlas adalah penunggalan (peng-Esa-an) Al-Haqq dalam mengarahkan semua orientasi ketaatan. Ketaatan harus dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah semata, tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditujukan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau makna yang lain selain pendekatan diri pada Allah.”
Dzun Nun al-Mishri menjelaskan, “Ikhlas tidak akan sempurna kecuali dengan kebenaran (shidiq) dan sabar di dalam ikhlas. Shidiq tidak akan sempurna kecuali dengan ikhlas dan terus-menerus di dalam ikhlas.”
Lebih lanjut, al-Mishri menerangkan, “Ada tiga alamat yang menunjukkan keikhlasan seseorang, yaitu ketiadaan perbedaan antara pujian dan celaan, lupa memandang amal perbuatannya, dan lupa menuntut pahala atas amal perbuatannya—bahkan di kampung akhirat nanti.”
Abu Ya‘qub as-Susi membahas ikhlas lebih dalam lagi. Dia berkata, “Kapan saja seseorang masih memandang ikhlas dalam keikhlasannya, maka keikhlasannya membutuhkan keikhlasan.” Artinya, kita tidak boleh memandang amal kita dengan pandangan apa pun. Seringkali kita berkata, “Saya melakukan ini dengan ikhlas, koq.” Perkataan ini menurut Abu Ya‘qub as-Susi bisa dikategorikan belum ikhlas.
‘Aidh al-Qarni berpesan, “Jangan mengharap terima kasih dari seseorang. Tabiat untuk mengingkari, membangkang dan meremehkan suatu kenikmatan adalah penyakit yang lazim menimpa jiwa manusia. Karena itu, Anda tak perlu heran dan resah bila mendapatkan mereka mengingkari kebaikan yang pernah Anda berikan, juga mencampakkan budi baik yang telah Anda tunjukkan. Lupakan saja bakti yang telah Anda persembahkan. Bahkan, tak usah resah bila mereka sampai memusuhi Anda dengan sangat keji dan membenci Anda sampai mendarah daging, dan semua itu mereka lakukan setelah Anda berbuat baik kepada mereka.”
“Anda tidak perlu terkejut manakala menghadiahkan sebatang pena kepada orang bebal, lalu ia memakai pena itu untuk menulis cemoohan kepada Anda. Anda juga tak usah kaget bila orang yang Anda beri tongkat untuk menggiring domba gembalaannya justru memukulkan tongkat itu ke kepala Anda. Jangan pernah resah dan gundah ketika ‘tangan putih’ yang Anda ulurkan dibalas dengan tamparan menyakitkan. Itu semua adalah watak dasar manusia yang selalu mengingkari dan tak pernah bersyukur kepada Penciptanya sendiri Yang Maha Agung nan Mulia. Begitulah, kepada Tuhannya saja mereka berani membangkang dan mengingkari, apalagi kepada saya dan Anda.” Demikianlah kata ‘Aidh al-Qarni melanjutkan nasihatnya.
Sekarang, marilah kita tanya diri sendiri apakah kita adalah hamba Allah? Kita memang berhak mengatakan bahwa kita adalah hamba Allah. Pertanyaan yang harus kita ajukan lagi adalah, “Apakah Allah juga mengakui bahwa kita adalah hamba-Nya?” Contoh sederhana, kita bisa saja mengatakan bahwa kita adalah keluarga Presiden. Namun, apakah Presiden mengakui bahwa kita adalah keluarganya? Seorang penyair mengatakan:
كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً بِِلَيْلَى * وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لََهُمْ بِذَاكَا
Semua orang mengaku punya hubungan dengan si jelita Laila
Namun Laila tidak mengakui ucapan mereka
Lalu, siapakah hamba Allah itu?
Hamba Allah adalah hamba yang senantiasa mengabdikan diri pada Tuannya.
Hamba Allah adalah hamba yang selalu merasakan kehadiran Penciptanya di mana pun dia berada.
Hamba Allah adalah hamba yang dengan setia melayani Pemiliknya dengan hati yang ridha.
Bagi hamba Allah, apa pun yang terjadi, hakikatnya adalah antara dirinya dengan Sang Empunya. Apa saja perlakuan orang lain, bagi hamba Allah, itu adalah pemberian yang indah dari Sang Penguasa. Dengan demikian tidak perlu sakit hati, marah atau dendam pada sesama, karena bagi dia semua itu antara dia dengan Allah. Orang lain dan semua yang ada hanyalah hiasan semata, untuk menguji apakah dirinya tetap berorientasi pada tujuannya atau tidak.
Bagi hamba Allah, hidup ini ibarat sebuah perjalanan untuk menuju tujuan yang mulia, pertemuan yang indah dengan Sang Pemilik Kehidupan. Apa pun yang ditemui di tengah jalan adalah kembang perjalanan, keindahan sementara, fatamorgana dan maya—bukanlah hakikat perjalanan itu sendiri.
Bagi hamba Allah, cakrawala boleh melengkung ke bawah, tapi bibir hamba Allah akan tetap melengkung ke atas, menyungging sebuah senyuman .
Bagi hamba Allah, hanya kepada-Nya ia menyembah dan hanya kepada-Nyalah memohon pertolongan.
إِيَّاكَ نَعْـبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْـتَعِيْنُ
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS al-Fâtihah [1] : 5)
Di ayat tersebut, lafazh iyyâka (hanya kepada Engkau) sebagai kata yang mengandung makna penentu, bukan lafazh na‘budu (kami menyembah pada-Mu).
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah perjanjian sakral yang diikrarkan oleh seorang muslim di setiap rakaat shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Dengannya, jiwa selalu terpaut dengan perjanjian agung itu. Demi janji itu manusia diciptakan, para rasul diutus, kitab-kitab suci diturunkan, surga dan neraka diciptakan, jalan menuju surga (ash-shirâth) dibentangkan, neraca amal perbuatan ditegakkan, para makhluk dibangkitkan dari kubur, amal perbuatan diperhitungkan, catatan amal diperlihatkan dan para saksi dihadirkan.
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah kebahagiaan yang kekal dan keselamatan abadi. Dengannya, kebenaran dan kemenangan terwujud, segala persoalan menjadi mudah, dan kejahatan terhindarkan. Tiada seorang pun mendapat ridha, rahmat, pengampunan, pertolongan, hidayah dan kekuatan dari Allah kecuali dengan “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”. Anugerah tak dapat diraih, nestapa tak dapat ditolak, kerusakan tak dapat dihindarkan, bencana dan fitnah tak dapat dicegah, kecuali dengan “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”.
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah kalimat yang akan menjadi pemelihara orang yang merealisasikan makna yang terkandung di dalamnya dari ketergelinciran, kebingungan, kesia-siaan beragama, kehampaan pemikiran, kesesatan pengetahuan, kedunguan moral dan kemerosotan pribadi.
Dalam kalimat “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în” tersimpan pemeliharaan dan pertolongan Ilahi, serta perwalian iman dan berkah Al-Qur’an. Berkat kalimat ini, seorang muslim menjadi orang yang berpribadi kuat, berhati terang, berjiwa muthmainnah, berdada lapang dan berpikiran cerah. Ini semua karena ia telah menjalin hubungan langsung dengan Allah, masuk ke dalam nasab ubudiyah, mengenakan mahkota penghambaan kepada Yang Maha Esa, tempat bergantung semua makhluk.
Dengan kalimat “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”, jiwa manusia dibersihkan dari kehampaan, hati disucikan dari kemunafikan, amal perbuatan dari riya’, lisan dari ucapan dusta, mata dari pemandangan yang dilarang, dan dari tindakan sewenang-wenang
Bila kita mengaku beriman dan ingin diakui sebagai hamba oleh Allah, maka kita harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan.
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَنْ يُتْرَكُـۤوْا أَنْ يَقُوْلُوْا ءَامَـنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَـنُوْنَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS al-‘Ankabût [29] : 2)
Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS al-‘Ankabût [29] : 3)
Siapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-‘Ankabût [29] : 5)
Rasulullah Muhammad saw. bersabda :
إِذَا سَـبَقَتْ ِللْعَبْدِ مِنَ اللهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا ِبعَمَلِهِ ابْتَلاَهُ اللهُ فِيْ جَسَدِهِ أَوْ فِيْ مَالِهِ أَوْ فِيْ وَلَدِهِ، ثُمَّ صَبَرَهُ حَتَّى يُبَلِّغُهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِيْ سَـبَقَتْ لَهُ مِنْهُ
Jika telah ditetapkan bagi seorang hamba suatu kedudukan yang tidak dapat dicapai dengan amalnya, maka Allah menimpakan cobaan terhadap diri, kekayaan atau anaknya, kemudian Dia menjadikannya bersabar dalam menghadapinya sehingga dia pun mencapai kedudukan yang telah ditetapkan kepadanya. (HR Ahmad)
Ada banyak ragam ujian yang bisa diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya. Berikut ini penulis ilustrasikan salah satu jenis ujian sebagai gambaran. Intinya, untuk mengetahui apakah kita lulus dalam ujian itu atau tidak, apakah kita benar-benar menghamba kepada Beliau Yang Memiliki kita atau tidak, apakah dalam hidup ini yang ada hanya kita dengan Allah atau masih ada yang lain, yang tersangkut di dalam hati.
Namun, kita tidak perlu bersedih hati. Seumpama ujian, ada yang lulus dengan nilai cukup, baik atau sempurna. Memang, kesempurnaan hanyalah milik Allah, namun nilai sempurna yang dimaksud di sini adalah nilai 100 untuk sebuah ujian. Yang belum lulus pun, ada bertingkat-tingkat. Ibarat sebuah penilaian, ada yang mendapat A (sempurna), B (baik), C (cukup), D (kurang), E (gagal), dan F (tidak ikut, mangkir atau menghindari ujian).
Akan datang sebuah masalah sebagai ujian bagi kita. Akan terlihat apakah kita menempuh cara-cara yang diridhai-Nya atau tidak. Jika bisa menyelesaikan masalah pertama ini karena ilmu dan pengalaman kita, maka akan datang permasalahan kedua. Di ujian kedua, ilmu dan pengalaman kita tidak akan berarti, tidak bisa diandalkan untuk mengatasinya. Mungkin kita bisa lolos dari ujian kali ini dengan harta kita. Dengan harta kita, kita bisa membeli dan membelanjakannya untuk menyelesaikan tingkat dua dari masalah yang kita hadapi.
Karena kita sudah naik tingkat, maka akan ada ujian ketiga. Di kasus yang menimpa kali ini, ilmu, pengalaman dan harta kita tidak akan banyak membantu. Semuanya terlihat rumit, serumit kalau kita sedang terjebak kemacetan lalu lintas. Kondisi jiwa terasa berat, seperti puisi Ibnu Hazm :
Ketika nestapa melanda jiwa
Api membakar hati, air mata meleleh di pipi
Kala lara menderita hati, menyiksa jiwa
Perasaan mungkin bisa sembunyi
Tapi air mata kan mengalir lama
Derasnya aliran air matamu adalah tanda
Kesedihan yang kau rasakan betapa beratnya
Di sini, kita diuji apakah kita tetap menempuh jalan yang baik atau tidak. Karena usaha keras kita, mungkin ada teman lama, sahabat, saudara, kerabat jauh, relasi, konsultan atau jaringan kita yang lain yang membantu menyelesaikannya. Dan, selesailah ujian tahap ketiga ini.
Kita sudah naik kelas. Di tahap ini, kita akan menerima persoalan yang jauh di atas sebelumnya. Ilmu, pengalaman, harta, teman, sahabat, saudara, relasi, konsultan dan semuanya tak banyak artinya. Kita seolah menemui jalan yang benar-benar buntu, tak terlihat oleh kita sedikit pun celah untuk dapat melaluinya. Semua usaha sepertinya sudah kita lakukan, semua doa rasanya sudah kita panjatkan. Namun hasilnya, tak seperti yang kita harapkan. Pada kondisi inilah kita sungguh diuji, apakah kita hamba Allah atau bukan.
Kalau kita memang hamba Allah, kita akan bersimpuh di hadapan-Nya, mengakui kehambaan kita. Kita nyatakan pada-Nya bahwa kita adalah milik-Nya. Tak satu pun ilmu, harta atau keluarga adalah milik kita. Bahkan nyawa kita pun milik-Nya. Semua milik-Nya semata. Tiada daya dan upaya selain dari Allah Yang Maha Agung (Al-‘Azhîm).
Kita adalah orang fakir di hadapan-Nya, tak memiliki apa-apa selain pemberian-Nya. Kita akan ridha dan bahagia terhadap apa pun yang diberikan-Nya pada kita. Tak ada lagi yang membuat hati kita sedih, karena hati kita sudah terisi akan cinta kepada-Nya. Cinta yang agung, tulus, dan indah. Apa pun yang ditakdirkan untuk kita, itu adalah hadiah dari Dzat yang kita cintai sepenuh hati. Tak akan ada lagi penderitaan yang bisa membuat kita galau dan resah.
Syaikh Ibnu Athaillah memberi nasihat kepada kita, “Nyatakan dengan sungguh-sungguh sifat-sifat kekuranganmu, pasti Allah akan memberimu pertolongan dengan kemuliaan sifat-sifat-Nya. Akuilah kehinaanmu di hadapan Allah, pasti Allah akan menolongmu dengan kekuasaan-Nya. Akuilah semua kelemahanmu di hadapan Allah, pasti Allah akan menolongmu dengan keagungan, kemampuan dan kekuatan-Nya.”
Melanjutkan nasihatnya, Ibnu Athaillah berkata, “Tidak ada yang dapat menyegerakan suatu permohonan kecuali keadaan yang amat sulit. Tiada satu pun yang dapat mempercepat datangnya karunia dari Allah kecuali dalam keadaan merendahkan diri dan dalam keadaan fakir.”
وَإِلىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ
dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS al-Insyirâh [94] :
Harapan-harapan besar tiada dimiliki kecuali oleh Allah semata. Di tangan-Nyalah terletak kunci segala persoalan. Beliau-lah yang berhak untuk dipinta, diharap dan dituju. Hanya kepada-Nya kita persembahkan asa, harapan dan rasa takut. Hanya kepada-Nya kita mengangkat kedua tangan, berdoa dengan sepenuh hati, penuh iba dan tetesan air mata.
Kalau itu yang kita lakukan—kita tetap pada kehambaan kita—maka akan ada jalan keluar bagi tiap kesulitan. Bukankah sudah ada dua kali jaminan, bahwa setelah kesulitan ada kemudahan? Itu berarti, satu kesulitan akan diapit oleh dua kemudahan, dan itu juga berarti bahwa bersama satu kesulitan terdapat dua jalan kemudahan yang berbeda.
Ketika malam sudah semakin kelam
Itu pertanda sang fajar akan merekah
Tatkala tali-temali yang mengikat tubuh kita semakin meregang kencang
Itu artinya tali-tali itu akan segera putus
Saat awan sudah semakin gelap
Itu tandanya hujan akan turun dan pelangi akan menghiasi angkasa
(karya ‘Aidh al-Qarni)
Abu Ali ibn Asy-Syibl berpesan, “Dengan menjaga nafsu, akan ada di dalamnya seperti bara api yang tetap dinyalakan di dalam mangkuk. Maka jangan kau padamkan dia dengan putus asa, dan jangan pula kau ulur dengan angan yang memanjang. Berjanjilah kepadanya bahwa dalam kesulitan itu ada kemudahan, dan ingatkan pula bahwa kesulitan itu berada dalam kemudahan. Dihitung kebaikannya ini dan itu, dan dengan menggabungkan semuanya akan berguna sebagai obat mujarab.”
Ketika Nabi Musa as. beserta kaumnya sudah tak tahu lagi apa yang harus dilakukan; di depan terhampar lautan luas membentang siap menenggelamkan, di belakang ada tentara Fir‘aun mengejar menghunus senjata siap membunuh—tatkala jalan sudah buntu—turunlah pertolongan Allah, “Musa, pukullah lautan itu!” Laut pun terbelah, tersibak bak sebuah buku raksasa yang sedang terbuka. Nabi Musa dan pengikutnya pun selamat atas pertolongan Allah.
Maka Fir‘aun dan bala tentaranya dapat menyusul mereka di waktu matahari terbit.
Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, “Sesungguhnya kita telah benar-benar akan tersusul.”
Musa menjawab, “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”
Lalu Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.
Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain.
Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya.
Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat), tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman.
Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.
(QS asy-Syu‘arâ’ [26] : 60-68)
Mengakui dengan tulus kekuasaan Allah dan pertolongan-Nya kepada para hamba-Nya, Ibnu Hazm al-Andalusi mengungkapkan :
Duhai, semua itu kembali kepada-Nya
Semua adalah milik-Nya dan tunduk kepada-Nya
Dia tunjukkan bukti-bukti kekuasaan-Nya
Lewat para nabi dan rasul utusan-Nya
Lihatlah kekuasaan-kekuasaan-Nya
Di tangan Nabi Shaleh yang mulia
Dari batu muncul seekor unta betina
Mereka lihat wujudnya dan dengar suaranya
Di tangan Nabi Musa yang mulia
Laut terbelah dengan sangat mudahnya
Menjadi jalan keselamatan menuju seberang sana
Ibrahim kekasih-Nya selamat dari api yang membara
Api yang merah panas menyala, dirasanya dingin saja
Nabi Nuh dan seluruh pengikut setianya
Selamat dari amukan bandang dan topan luar biasa
Kepada Sulaiman, Dia tundukkan jin dan manusia
Semua orang dan binatang tunduk dalam kerajaannya
Semua bahasa ia bisa, bahasa burung pun dikuasainya
Pada saat orang-orang yang beriman dan rasul-Nya sudah tidak mengerti apa yang harus diperbuat; harta, saudara, ilmu dan pengalaman mereka sudah tidak bisa diandalkan; mereka merintih, meratap, menangis dan berdoa, “matâ nashrullâh (Bilakah datangnya pertolongan Allah)?” Saat itulah jawaban disampaikan, alâ inna nashrallâhi qarîb (Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat).”
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS al-Baqarah [2] : 214)
Bagi orang-orang yang benar-benar mengakui kehambaannya di sisi Allah, tidak akan ada ketakukan dan kesedihan, walaupun maut di depan mata. Malaikat akan menghibur mereka, surga pun sudah disiapkan, para bidadari sedang berbaris bersiap menyambut kedatangan hamba Allah dengan senyum indahnya, senyuman yang menyejukkan hati, teduh memandikan jiwa yang sepi.
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
(QS Fushshilat [41] : 30)
Mungkin kita akan bertanya, “Logikanya bagaimana? Kok bisa orang yang mengakui kehambaannya kepada Allah tidak akan merasakan kesedihan walaupun penderitaan sedang dialaminya? Ah, itu semua kan dogma dan sepertinya tidak masuk akal!”
Baiklah, mari kita bicara logika, karena akal memang diciptakan untuk menguatkan iman agar tertanam kuat di dalam hati kita—seperti pondasi rumah yang sangat kokoh.
Jika seseorang sudah mengakui bahwa dia adalah hamba dan Allah adalah Tuhannya, maka dia akan sadar bahwa dirinya fakir (gelandangan), tidak punya apa-apa, sebagaimana keadaannya waktu bayi.
Bagi seorang gelandangan, tidak ada yang disebut kehilangan, karena memang dia tidak memiliki apa pun.
Bagi seorang gelandangan, tidaklah merisaukan hati dan membebani pikiran, meskipun harus melewati panasnya jalan, gunungan sampah dan lautan lumpur.
Bagi seorang gelandangan, kemiskinan adalah baju kehidupan, sedangkan kekurangan adalah selimut dunia.
Bagi seorang gelandangan, tidak disebut penderitaan walaupun harus memungut sisa makanan yang dibuang di pinggir jalan.
Bagi seorang gelandangan, kelaparan adalah pembersihan tubuh dari sumber penyakit, dan kehausan adalah rasa yang disyaratkan untuk menikmati segarnya setetes embun dan seteguk air.
Bagi seorang gelandangan, itu semua sudah seperti udara yang dia hirup, sudah kebiasaan sehari-hari.
Istilah ilmiah sekarang, EQ (Emotional Quotient) atau disebut juga EI (Emotional Intelligence) dan SQ (Spiritual Quotient) seorang hamba Allah sudah mencapai tingkat tertinggi (mumpuni).
Kebanggan menjadi hamba Allah diungkapkan oleh seorang penyair dalam bait syairnya :
Yang menjadi kemuliaan dan kebanggaanku
Dan yang membuat kakiku menginjak bintang kejora
Adalah sebab aku termasuk dalam panggilan-Mu, “Wahai Hamba-Ku”
Dan Engkau menjadikan Muhammad sebagai Nabiku
Daftar Pustaka :
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
Muhammad Basori Alwi Murtadho, Kyai, “Pokok-Pokok Ilmu Tajwid”, Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Malang, Cetakan XVII : September 1993
Dalam banyak kesempatan, kita menyatakan diri sebagai hamba Allah. Dulu, jika orang mau menyumbang tapi tak ingin diketahui namanya, ditulis dengan NN (No Name). Saat ini, kita menggantinya dengan “hamba Allah”. Tujuan awalnya memang untuk menghindari riya’.
Tapi, perkataan seperti itu bisa membuat diri kita pamer kepada orang lain bahwa kita ini orang shaleh. Kalau kita menyumbang ke suatu badan amal, yayasan atau yang lain, kita bisa tergoda untuk mengatakan dengan sefasih dan semantap mungkin, “Nama saya tidak perlu ditulis. Tulis saja dari hamba Allah.”
Berdasarkan ilmu tajwid, lafazh “Allah” dibaca tafkhîm (tebal) karena lam Jalâlah didahului fathah. Kalau memang itu yang kita lakukan—kita mengucapkan lafazh “Allah” semantap mungkin supaya terlihat seperti orang alim—apakah benar kita ini hamba-Nya? Marilah kita lihat apakah kita memang hamba Allah atau bukan.
Katakanlah kita mempunyai seorang tetangga sekaligus teman, yang dari segi harta dan pekerjaan tidak seberuntung kita. Karena dia teman kita, jika dia minta pertolongan, seketika itu juga kita membantunya. Bahkan kadang kala kita menawarkan diri untuk sedikit meringankan tugas dia, jika dia terlihat tidak bisa menyelesaikannya. Semua itu kita lakukan tanpa pamrih, kita benar-benar mengikhlaskan semuanya.
Dua tahun berlalu dan selama itu pula kita selalu melakukan yang dimintanya. Suatu hari, kendaraan kita sedang bermasalah. Karena buru-buru ingin ke kantor mengingat jam sudah menunjukkan pukul 07.30, kita minta diantarkan dia yang kebetulan sedang mendapat jadwal shift sore (15.00–23.00) di pabriknya. Kala itu dia sedang santai minum kopi hangat sambil membaca koran dan menikmati pisang goreng.
Ternyata, dia tidak mau mengantarkan kita. Dia malah berkata, “Kamu ini mengganggu orang saja. Tidak lihat apa, aku sedang menikmati sejuknya pagi. Minggu ini kan aku shift sore, jadi aku masih ingin istirahat. Kamu kan punya uang, naik taxi saja!”
Nah, apakah di dalam hati, kita tidak akan mengingat-ingat pertolongan kita padanya selama ini? Ataukah, kita berkata pada diri sendiri, “Dasar orang tidak tahu membalas budi! Awas, ya… Jangan harap aku akan menolongmu lagi!”
Jika kita masih mengingat kebaikan kita padanya, atau meminta balas budi darinya, apakah pantas kalau kita menyebut diri sebagai hamba Allah? Sedangkan pengertian hamba adalah orang yang melakukan sesuatu semata-mata untuk tuannya, tak ada urusan dengan orang lain.
Penulis pernah mendengar di sebuah acara radio, ada seseorang mengadukan keadaannya pada nara sumber. Dua tahun sebelumnya, ada pegawai baru di departemennya. Karena ingin berbuat baik, maka pegawai baru ini dibimbing, diberi arahan dan selalu dibantu. Memang dasarnya anak cerdas, pegawai baru tersebut naik pangkat dengan cepat. Masalahnya, sekarang ini jadi saingan, bahkan tega menjatuhkan sang mentor (penelpon) yang telah membimbingnya. Pegawai baru itu sekarang jadi musuh si penelpon. Si penelpon merasa sakit hati karena dulu dialah yang menolong. ‘Aidh al-Qarni menggambarkan peristiwa seperti ini dalam bait syairnya :
Tetapi sifat ini kadang kala justru terbalik, sahabat dijadikan musuh!
Aku ajari dia memanah setiap hari
Ketika lengannya menjadi kuat, ia malah memukulku
Betapa banyak aku ajarkan padanya bait-bait syair
Ketika ia mampu membuat syair, ia menyerangku
Nah, kalau kita berada di posisi si penelpon, apakah kita juga sakit hati? Kalau benar kita sakit hati karenanya, berarti kita tidak ikhlas menolongnya. Dalam hati, sebenarnya kita berharap agar suatu saat pegawai baru itu menolong kita. Apakah pantas kalau kita menolong orang lain, lalu kita berharap suatu saat dia juga membantu kita, kemudian dengan keyakinan penuh kita mengatakan bahwa kita hamba Allah?
Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).
(QS az-Zumar [39] : 2-3)
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.
(QS al-Bayyinah [98] : 5)
Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.
Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.
(QS al-Insân [76] : 9-10)
Rasulullah saw. bersabda :
ثَلاَثٌ لاَيَغُلُّ عَلَيْهِمْ قَلْبُ مُسْلِمٍ : إِخْلاَصُ الْعَمَلِ ِللهِ تَعَالَى، وَمُنَاصَحَةُ وُلاَةِ اْلأُمُوْرِ، وَلُزُوْمُ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ
Tiga perkara yang tidak bisa dikhianati hati seorang muslim, yaitu keikhlasan amal karena Allah SWT, saling menasihati dalam penguasaan masalah dan tetapnya jamaah umat Islam. (HR Ahmad)
Semua benda berpotensi dapat ternoda oleh benda lainnya. Jika benda itu bersih serta terhindar dari kotoran dan noda, maka disebut dengan khâlish (benda yang bersih) dan pekerjaan untuk membersihkannya disebut ikhlâshan. Bersihnya (khulush) susu dari hewan ternak adalah apabila tidak dicampuri oleh darah, kotoran atau sesuatu yang dapat mencampurinya.
Ikhlas adalah penjernihan perbuatan dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi. Ikhlas adalah ruh amal, dan amal menunjukkan tegaknya iman.
Syaikh Ibnu Athaillah menuturkan, “Siapa menyembah Allah karena mengharapkan sesuatu yang lain, atau karena menolak bahaya yang akan menimpa dirinya, maka ia belum menunaikan tugasnya terhadap Allah sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki-Nya. Ada beraneka ragam jenis amal menurut situasi dan kondisi yang masuk ke dalam hati manusia. Kerangkanya adalah perbuatan yang jelas, sedangkan ruhnya adalah ikhlas.”
Imam Al-Qusyairi menasihatkan, “Ikhlas adalah penunggalan (peng-Esa-an) Al-Haqq dalam mengarahkan semua orientasi ketaatan. Ketaatan harus dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah semata, tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditujukan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau makna yang lain selain pendekatan diri pada Allah.”
Dzun Nun al-Mishri menjelaskan, “Ikhlas tidak akan sempurna kecuali dengan kebenaran (shidiq) dan sabar di dalam ikhlas. Shidiq tidak akan sempurna kecuali dengan ikhlas dan terus-menerus di dalam ikhlas.”
Lebih lanjut, al-Mishri menerangkan, “Ada tiga alamat yang menunjukkan keikhlasan seseorang, yaitu ketiadaan perbedaan antara pujian dan celaan, lupa memandang amal perbuatannya, dan lupa menuntut pahala atas amal perbuatannya—bahkan di kampung akhirat nanti.”
Abu Ya‘qub as-Susi membahas ikhlas lebih dalam lagi. Dia berkata, “Kapan saja seseorang masih memandang ikhlas dalam keikhlasannya, maka keikhlasannya membutuhkan keikhlasan.” Artinya, kita tidak boleh memandang amal kita dengan pandangan apa pun. Seringkali kita berkata, “Saya melakukan ini dengan ikhlas, koq.” Perkataan ini menurut Abu Ya‘qub as-Susi bisa dikategorikan belum ikhlas.
‘Aidh al-Qarni berpesan, “Jangan mengharap terima kasih dari seseorang. Tabiat untuk mengingkari, membangkang dan meremehkan suatu kenikmatan adalah penyakit yang lazim menimpa jiwa manusia. Karena itu, Anda tak perlu heran dan resah bila mendapatkan mereka mengingkari kebaikan yang pernah Anda berikan, juga mencampakkan budi baik yang telah Anda tunjukkan. Lupakan saja bakti yang telah Anda persembahkan. Bahkan, tak usah resah bila mereka sampai memusuhi Anda dengan sangat keji dan membenci Anda sampai mendarah daging, dan semua itu mereka lakukan setelah Anda berbuat baik kepada mereka.”
“Anda tidak perlu terkejut manakala menghadiahkan sebatang pena kepada orang bebal, lalu ia memakai pena itu untuk menulis cemoohan kepada Anda. Anda juga tak usah kaget bila orang yang Anda beri tongkat untuk menggiring domba gembalaannya justru memukulkan tongkat itu ke kepala Anda. Jangan pernah resah dan gundah ketika ‘tangan putih’ yang Anda ulurkan dibalas dengan tamparan menyakitkan. Itu semua adalah watak dasar manusia yang selalu mengingkari dan tak pernah bersyukur kepada Penciptanya sendiri Yang Maha Agung nan Mulia. Begitulah, kepada Tuhannya saja mereka berani membangkang dan mengingkari, apalagi kepada saya dan Anda.” Demikianlah kata ‘Aidh al-Qarni melanjutkan nasihatnya.
Sekarang, marilah kita tanya diri sendiri apakah kita adalah hamba Allah? Kita memang berhak mengatakan bahwa kita adalah hamba Allah. Pertanyaan yang harus kita ajukan lagi adalah, “Apakah Allah juga mengakui bahwa kita adalah hamba-Nya?” Contoh sederhana, kita bisa saja mengatakan bahwa kita adalah keluarga Presiden. Namun, apakah Presiden mengakui bahwa kita adalah keluarganya? Seorang penyair mengatakan:
كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً بِِلَيْلَى * وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لََهُمْ بِذَاكَا
Semua orang mengaku punya hubungan dengan si jelita Laila
Namun Laila tidak mengakui ucapan mereka
Lalu, siapakah hamba Allah itu?
Hamba Allah adalah hamba yang senantiasa mengabdikan diri pada Tuannya.
Hamba Allah adalah hamba yang selalu merasakan kehadiran Penciptanya di mana pun dia berada.
Hamba Allah adalah hamba yang dengan setia melayani Pemiliknya dengan hati yang ridha.
Bagi hamba Allah, apa pun yang terjadi, hakikatnya adalah antara dirinya dengan Sang Empunya. Apa saja perlakuan orang lain, bagi hamba Allah, itu adalah pemberian yang indah dari Sang Penguasa. Dengan demikian tidak perlu sakit hati, marah atau dendam pada sesama, karena bagi dia semua itu antara dia dengan Allah. Orang lain dan semua yang ada hanyalah hiasan semata, untuk menguji apakah dirinya tetap berorientasi pada tujuannya atau tidak.
Bagi hamba Allah, hidup ini ibarat sebuah perjalanan untuk menuju tujuan yang mulia, pertemuan yang indah dengan Sang Pemilik Kehidupan. Apa pun yang ditemui di tengah jalan adalah kembang perjalanan, keindahan sementara, fatamorgana dan maya—bukanlah hakikat perjalanan itu sendiri.
Bagi hamba Allah, cakrawala boleh melengkung ke bawah, tapi bibir hamba Allah akan tetap melengkung ke atas, menyungging sebuah senyuman .
Bagi hamba Allah, hanya kepada-Nya ia menyembah dan hanya kepada-Nyalah memohon pertolongan.
إِيَّاكَ نَعْـبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْـتَعِيْنُ
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS al-Fâtihah [1] : 5)
Di ayat tersebut, lafazh iyyâka (hanya kepada Engkau) sebagai kata yang mengandung makna penentu, bukan lafazh na‘budu (kami menyembah pada-Mu).
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah perjanjian sakral yang diikrarkan oleh seorang muslim di setiap rakaat shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Dengannya, jiwa selalu terpaut dengan perjanjian agung itu. Demi janji itu manusia diciptakan, para rasul diutus, kitab-kitab suci diturunkan, surga dan neraka diciptakan, jalan menuju surga (ash-shirâth) dibentangkan, neraca amal perbuatan ditegakkan, para makhluk dibangkitkan dari kubur, amal perbuatan diperhitungkan, catatan amal diperlihatkan dan para saksi dihadirkan.
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah kebahagiaan yang kekal dan keselamatan abadi. Dengannya, kebenaran dan kemenangan terwujud, segala persoalan menjadi mudah, dan kejahatan terhindarkan. Tiada seorang pun mendapat ridha, rahmat, pengampunan, pertolongan, hidayah dan kekuatan dari Allah kecuali dengan “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”. Anugerah tak dapat diraih, nestapa tak dapat ditolak, kerusakan tak dapat dihindarkan, bencana dan fitnah tak dapat dicegah, kecuali dengan “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”.
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah kalimat yang akan menjadi pemelihara orang yang merealisasikan makna yang terkandung di dalamnya dari ketergelinciran, kebingungan, kesia-siaan beragama, kehampaan pemikiran, kesesatan pengetahuan, kedunguan moral dan kemerosotan pribadi.
Dalam kalimat “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în” tersimpan pemeliharaan dan pertolongan Ilahi, serta perwalian iman dan berkah Al-Qur’an. Berkat kalimat ini, seorang muslim menjadi orang yang berpribadi kuat, berhati terang, berjiwa muthmainnah, berdada lapang dan berpikiran cerah. Ini semua karena ia telah menjalin hubungan langsung dengan Allah, masuk ke dalam nasab ubudiyah, mengenakan mahkota penghambaan kepada Yang Maha Esa, tempat bergantung semua makhluk.
Dengan kalimat “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”, jiwa manusia dibersihkan dari kehampaan, hati disucikan dari kemunafikan, amal perbuatan dari riya’, lisan dari ucapan dusta, mata dari pemandangan yang dilarang, dan dari tindakan sewenang-wenang
Bila kita mengaku beriman dan ingin diakui sebagai hamba oleh Allah, maka kita harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan.
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَنْ يُتْرَكُـۤوْا أَنْ يَقُوْلُوْا ءَامَـنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَـنُوْنَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS al-‘Ankabût [29] : 2)
Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS al-‘Ankabût [29] : 3)
Siapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-‘Ankabût [29] : 5)
Rasulullah Muhammad saw. bersabda :
إِذَا سَـبَقَتْ ِللْعَبْدِ مِنَ اللهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا ِبعَمَلِهِ ابْتَلاَهُ اللهُ فِيْ جَسَدِهِ أَوْ فِيْ مَالِهِ أَوْ فِيْ وَلَدِهِ، ثُمَّ صَبَرَهُ حَتَّى يُبَلِّغُهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِيْ سَـبَقَتْ لَهُ مِنْهُ
Jika telah ditetapkan bagi seorang hamba suatu kedudukan yang tidak dapat dicapai dengan amalnya, maka Allah menimpakan cobaan terhadap diri, kekayaan atau anaknya, kemudian Dia menjadikannya bersabar dalam menghadapinya sehingga dia pun mencapai kedudukan yang telah ditetapkan kepadanya. (HR Ahmad)
Ada banyak ragam ujian yang bisa diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya. Berikut ini penulis ilustrasikan salah satu jenis ujian sebagai gambaran. Intinya, untuk mengetahui apakah kita lulus dalam ujian itu atau tidak, apakah kita benar-benar menghamba kepada Beliau Yang Memiliki kita atau tidak, apakah dalam hidup ini yang ada hanya kita dengan Allah atau masih ada yang lain, yang tersangkut di dalam hati.
Namun, kita tidak perlu bersedih hati. Seumpama ujian, ada yang lulus dengan nilai cukup, baik atau sempurna. Memang, kesempurnaan hanyalah milik Allah, namun nilai sempurna yang dimaksud di sini adalah nilai 100 untuk sebuah ujian. Yang belum lulus pun, ada bertingkat-tingkat. Ibarat sebuah penilaian, ada yang mendapat A (sempurna), B (baik), C (cukup), D (kurang), E (gagal), dan F (tidak ikut, mangkir atau menghindari ujian).
Akan datang sebuah masalah sebagai ujian bagi kita. Akan terlihat apakah kita menempuh cara-cara yang diridhai-Nya atau tidak. Jika bisa menyelesaikan masalah pertama ini karena ilmu dan pengalaman kita, maka akan datang permasalahan kedua. Di ujian kedua, ilmu dan pengalaman kita tidak akan berarti, tidak bisa diandalkan untuk mengatasinya. Mungkin kita bisa lolos dari ujian kali ini dengan harta kita. Dengan harta kita, kita bisa membeli dan membelanjakannya untuk menyelesaikan tingkat dua dari masalah yang kita hadapi.
Karena kita sudah naik tingkat, maka akan ada ujian ketiga. Di kasus yang menimpa kali ini, ilmu, pengalaman dan harta kita tidak akan banyak membantu. Semuanya terlihat rumit, serumit kalau kita sedang terjebak kemacetan lalu lintas. Kondisi jiwa terasa berat, seperti puisi Ibnu Hazm :
Ketika nestapa melanda jiwa
Api membakar hati, air mata meleleh di pipi
Kala lara menderita hati, menyiksa jiwa
Perasaan mungkin bisa sembunyi
Tapi air mata kan mengalir lama
Derasnya aliran air matamu adalah tanda
Kesedihan yang kau rasakan betapa beratnya
Di sini, kita diuji apakah kita tetap menempuh jalan yang baik atau tidak. Karena usaha keras kita, mungkin ada teman lama, sahabat, saudara, kerabat jauh, relasi, konsultan atau jaringan kita yang lain yang membantu menyelesaikannya. Dan, selesailah ujian tahap ketiga ini.
Kita sudah naik kelas. Di tahap ini, kita akan menerima persoalan yang jauh di atas sebelumnya. Ilmu, pengalaman, harta, teman, sahabat, saudara, relasi, konsultan dan semuanya tak banyak artinya. Kita seolah menemui jalan yang benar-benar buntu, tak terlihat oleh kita sedikit pun celah untuk dapat melaluinya. Semua usaha sepertinya sudah kita lakukan, semua doa rasanya sudah kita panjatkan. Namun hasilnya, tak seperti yang kita harapkan. Pada kondisi inilah kita sungguh diuji, apakah kita hamba Allah atau bukan.
Kalau kita memang hamba Allah, kita akan bersimpuh di hadapan-Nya, mengakui kehambaan kita. Kita nyatakan pada-Nya bahwa kita adalah milik-Nya. Tak satu pun ilmu, harta atau keluarga adalah milik kita. Bahkan nyawa kita pun milik-Nya. Semua milik-Nya semata. Tiada daya dan upaya selain dari Allah Yang Maha Agung (Al-‘Azhîm).
Kita adalah orang fakir di hadapan-Nya, tak memiliki apa-apa selain pemberian-Nya. Kita akan ridha dan bahagia terhadap apa pun yang diberikan-Nya pada kita. Tak ada lagi yang membuat hati kita sedih, karena hati kita sudah terisi akan cinta kepada-Nya. Cinta yang agung, tulus, dan indah. Apa pun yang ditakdirkan untuk kita, itu adalah hadiah dari Dzat yang kita cintai sepenuh hati. Tak akan ada lagi penderitaan yang bisa membuat kita galau dan resah.
Syaikh Ibnu Athaillah memberi nasihat kepada kita, “Nyatakan dengan sungguh-sungguh sifat-sifat kekuranganmu, pasti Allah akan memberimu pertolongan dengan kemuliaan sifat-sifat-Nya. Akuilah kehinaanmu di hadapan Allah, pasti Allah akan menolongmu dengan kekuasaan-Nya. Akuilah semua kelemahanmu di hadapan Allah, pasti Allah akan menolongmu dengan keagungan, kemampuan dan kekuatan-Nya.”
Melanjutkan nasihatnya, Ibnu Athaillah berkata, “Tidak ada yang dapat menyegerakan suatu permohonan kecuali keadaan yang amat sulit. Tiada satu pun yang dapat mempercepat datangnya karunia dari Allah kecuali dalam keadaan merendahkan diri dan dalam keadaan fakir.”
وَإِلىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ
dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS al-Insyirâh [94] :
Harapan-harapan besar tiada dimiliki kecuali oleh Allah semata. Di tangan-Nyalah terletak kunci segala persoalan. Beliau-lah yang berhak untuk dipinta, diharap dan dituju. Hanya kepada-Nya kita persembahkan asa, harapan dan rasa takut. Hanya kepada-Nya kita mengangkat kedua tangan, berdoa dengan sepenuh hati, penuh iba dan tetesan air mata.
Kalau itu yang kita lakukan—kita tetap pada kehambaan kita—maka akan ada jalan keluar bagi tiap kesulitan. Bukankah sudah ada dua kali jaminan, bahwa setelah kesulitan ada kemudahan? Itu berarti, satu kesulitan akan diapit oleh dua kemudahan, dan itu juga berarti bahwa bersama satu kesulitan terdapat dua jalan kemudahan yang berbeda.
Ketika malam sudah semakin kelam
Itu pertanda sang fajar akan merekah
Tatkala tali-temali yang mengikat tubuh kita semakin meregang kencang
Itu artinya tali-tali itu akan segera putus
Saat awan sudah semakin gelap
Itu tandanya hujan akan turun dan pelangi akan menghiasi angkasa
(karya ‘Aidh al-Qarni)
Abu Ali ibn Asy-Syibl berpesan, “Dengan menjaga nafsu, akan ada di dalamnya seperti bara api yang tetap dinyalakan di dalam mangkuk. Maka jangan kau padamkan dia dengan putus asa, dan jangan pula kau ulur dengan angan yang memanjang. Berjanjilah kepadanya bahwa dalam kesulitan itu ada kemudahan, dan ingatkan pula bahwa kesulitan itu berada dalam kemudahan. Dihitung kebaikannya ini dan itu, dan dengan menggabungkan semuanya akan berguna sebagai obat mujarab.”
Ketika Nabi Musa as. beserta kaumnya sudah tak tahu lagi apa yang harus dilakukan; di depan terhampar lautan luas membentang siap menenggelamkan, di belakang ada tentara Fir‘aun mengejar menghunus senjata siap membunuh—tatkala jalan sudah buntu—turunlah pertolongan Allah, “Musa, pukullah lautan itu!” Laut pun terbelah, tersibak bak sebuah buku raksasa yang sedang terbuka. Nabi Musa dan pengikutnya pun selamat atas pertolongan Allah.
Maka Fir‘aun dan bala tentaranya dapat menyusul mereka di waktu matahari terbit.
Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, “Sesungguhnya kita telah benar-benar akan tersusul.”
Musa menjawab, “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”
Lalu Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.
Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain.
Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya.
Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat), tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman.
Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.
(QS asy-Syu‘arâ’ [26] : 60-68)
Mengakui dengan tulus kekuasaan Allah dan pertolongan-Nya kepada para hamba-Nya, Ibnu Hazm al-Andalusi mengungkapkan :
Duhai, semua itu kembali kepada-Nya
Semua adalah milik-Nya dan tunduk kepada-Nya
Dia tunjukkan bukti-bukti kekuasaan-Nya
Lewat para nabi dan rasul utusan-Nya
Lihatlah kekuasaan-kekuasaan-Nya
Di tangan Nabi Shaleh yang mulia
Dari batu muncul seekor unta betina
Mereka lihat wujudnya dan dengar suaranya
Di tangan Nabi Musa yang mulia
Laut terbelah dengan sangat mudahnya
Menjadi jalan keselamatan menuju seberang sana
Ibrahim kekasih-Nya selamat dari api yang membara
Api yang merah panas menyala, dirasanya dingin saja
Nabi Nuh dan seluruh pengikut setianya
Selamat dari amukan bandang dan topan luar biasa
Kepada Sulaiman, Dia tundukkan jin dan manusia
Semua orang dan binatang tunduk dalam kerajaannya
Semua bahasa ia bisa, bahasa burung pun dikuasainya
Pada saat orang-orang yang beriman dan rasul-Nya sudah tidak mengerti apa yang harus diperbuat; harta, saudara, ilmu dan pengalaman mereka sudah tidak bisa diandalkan; mereka merintih, meratap, menangis dan berdoa, “matâ nashrullâh (Bilakah datangnya pertolongan Allah)?” Saat itulah jawaban disampaikan, alâ inna nashrallâhi qarîb (Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat).”
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS al-Baqarah [2] : 214)
Bagi orang-orang yang benar-benar mengakui kehambaannya di sisi Allah, tidak akan ada ketakukan dan kesedihan, walaupun maut di depan mata. Malaikat akan menghibur mereka, surga pun sudah disiapkan, para bidadari sedang berbaris bersiap menyambut kedatangan hamba Allah dengan senyum indahnya, senyuman yang menyejukkan hati, teduh memandikan jiwa yang sepi.
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
(QS Fushshilat [41] : 30)
Mungkin kita akan bertanya, “Logikanya bagaimana? Kok bisa orang yang mengakui kehambaannya kepada Allah tidak akan merasakan kesedihan walaupun penderitaan sedang dialaminya? Ah, itu semua kan dogma dan sepertinya tidak masuk akal!”
Baiklah, mari kita bicara logika, karena akal memang diciptakan untuk menguatkan iman agar tertanam kuat di dalam hati kita—seperti pondasi rumah yang sangat kokoh.
Jika seseorang sudah mengakui bahwa dia adalah hamba dan Allah adalah Tuhannya, maka dia akan sadar bahwa dirinya fakir (gelandangan), tidak punya apa-apa, sebagaimana keadaannya waktu bayi.
Bagi seorang gelandangan, tidak ada yang disebut kehilangan, karena memang dia tidak memiliki apa pun.
Bagi seorang gelandangan, tidaklah merisaukan hati dan membebani pikiran, meskipun harus melewati panasnya jalan, gunungan sampah dan lautan lumpur.
Bagi seorang gelandangan, kemiskinan adalah baju kehidupan, sedangkan kekurangan adalah selimut dunia.
Bagi seorang gelandangan, tidak disebut penderitaan walaupun harus memungut sisa makanan yang dibuang di pinggir jalan.
Bagi seorang gelandangan, kelaparan adalah pembersihan tubuh dari sumber penyakit, dan kehausan adalah rasa yang disyaratkan untuk menikmati segarnya setetes embun dan seteguk air.
Bagi seorang gelandangan, itu semua sudah seperti udara yang dia hirup, sudah kebiasaan sehari-hari.
Istilah ilmiah sekarang, EQ (Emotional Quotient) atau disebut juga EI (Emotional Intelligence) dan SQ (Spiritual Quotient) seorang hamba Allah sudah mencapai tingkat tertinggi (mumpuni).
Kebanggan menjadi hamba Allah diungkapkan oleh seorang penyair dalam bait syairnya :
Yang menjadi kemuliaan dan kebanggaanku
Dan yang membuat kakiku menginjak bintang kejora
Adalah sebab aku termasuk dalam panggilan-Mu, “Wahai Hamba-Ku”
Dan Engkau menjadikan Muhammad sebagai Nabiku
Daftar Pustaka :
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
Muhammad Basori Alwi Murtadho, Kyai, “Pokok-Pokok Ilmu Tajwid”, Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Malang, Cetakan XVII : September 1993